20 Mei
aku terpaku di persipangan jalan kampus ini. memandangi satu-persatu manusia berlarian menghampiri nenek tua yang terkapar ditarik ulur nyawanya oleh ijra'il. mobil plat 'D' menerobos lampu merah dan menabrak sosok tua yang kala itu sedang menyebrang di zebra cross. arus lalu lintas terhenti akibat kejadian tersebut. seorang wanita belia berlumuran darah di tengah jalan setelah mobil yang menabraknya pontang-panting lari tak mau menanggung kesalahnnya.
aku tak tahu mengapa ada perasaan yang mengikatku untuk melongok dan memastikan siapakah gerangan nenek itu. perlahan derap kakiku menuntun mendekati kerumunan. "tak terlihat, terlalu banyak orang disini" kataku dalam hati. aku mencari cara menyingkap orang-orang di depanku agar bisa menengok. lalu, tiba-tiba sebuah ide muncul. aku berteriak:
"minggir, saya keluarganya!"
Tak kupercaya pada pandanganku. aku tahu aku berbohong, mengaku-ngaku segala. tapi, nenek di depanku ini memang aku kenal betul. tidak salah lagi. hampir setiap hari aku selalu bertemu dengannya di dalam bus kota. ia, nenek tua itu!17 Mei
setiap pagi aku berangkat dari terminal Leuwi Panjang (Bandung) dengan bus kota menuju kampusku. pukul 06.00 tepat bus sudah berangkat. aku selalu memilih tempat duduk dekat kaca baris ke-5 dari jajaran kursi yang tersedia.dan pagi ini, seperti biasa, bus ini sepi penumpang dan tetap berangkat membelah jalanan kota bandung pukul 06.00. tidak pernah kurang tidak pernah lebih. selalu tepat waktu.
pak kondektur mulai menghampiri penumpang satu persatu menagih ongkos bus. tiba-tiba, seorang nenek tua terpogoh menaiki bus. aku tak acuh, membuang pandanganku ke jalan: bubur ayam, kupat tahu, cakue berjejer gerobak-gerobak itu di pinggiran jalan kopo.
karena ketidakpedulianku atau karena terlarut dalam melankoli pagi kota bandung ini, aku tak menyadari seseorang sudah duduk di sebelahku.
"neng, bisa bantuin nenek gak?"
ternyata nenek tadi. setetlah dilihat dari dekat nenek ini terlihat lusuh. kain batik menutupi pinggang hingga kakinya. tubuhnya hanya mengenakan baju batik warna ungu dengan syal putih kumal memeluk lehernya kuat. rambutnya semu keputih-putihan. aku taksir umurnya menginjak 60-an.
"mangga nek, apa yang bisa saya bantu?"
"gini, nenek teh mau pulang ke rumah nenek. di garut. tapi, uang nenek kurang buat ongkos kesanahya. kalo boleh. . . . . nenek minta sumbangannya. berapa ajah."
nadanya memelas. aku sama sekali tidak keberatan memberikan separuh uang jajanku untuk menolongnya. kuberikan 5000 rupiah padanya.
"hatur nuhun ya neng, moga dilancarkan segala urusannya, segala rezekinya dan. . . ."
nenek itu memperhatikanku. dia memandangi kerudung hingga sepatu yang kukenakan. "semoga segera dipertemukan dengan ikhwan impiannya" senyumnya merekah setelah kalimat tadi lepas dari bibirnya.
"aamiin, makasih ya nek" aku membalas senyumnya.
"oh iya, neng mau kemana pagi-pagi gini?"
"mau kuliah nek"
"ooh.. kuliah, kuliah dimana?"
"ITB nek..."
"dimana itu? nenek mah taunya ITB teh 'icalan teh botol' (jualan teh botol)"
"heheheheheh...." aku terkekeh geli.
"bukan nek, itu lhoo kampusnya yang di jalan Ganesha tea, yang mau ke arah dago, deket kebon binatang kota Bandung" terangku.
"oh...enya enya. nenek tau kalo kebon binatang mah. dulu waktu muda pernah kesitu. sok atuh mudah-mudahan dipinterkeun ku Allah, cepet lulus kuliah, cepet nikahnya" lagi-lagi senyuman nenek itu merekah setelah kata terakhir tadi lepas dari bibirnya.
lagi-lagi aku tersenyum, "aamiin ya rabb"
dengan seketika nenek itu pindah dari sebelahku, menghampiri penumpang lainnya dan bercerita yang sama tentang kendala yang ia hadapi. aku mafhum saja dan sama sekali tidak terbesit kecurigaan dalam hatiku. ia butuh kumpulan uang dari beberapa orang untuk ongkosnya. wajar bukan? aku pun kembali membiarkan mata ini bermain-main lagi melihat keluar jendela. jalanan kota Bandung mulai padat kendaraan.
.............................................................................................................................
Esok harinya hingga lusa, 19 mei, aku tetap melakukan aktivitasku berangkat pagi ke kampus. begitu juga nenek itu, setiap pagi ia selalu satu bus denganku. tentu aku tak menduga bisa 3 hari berturut-turut bertemu dan satu bus dengan nenek itu.
namun yang aku herankan, ia seperti tak mengenaliku setiap paginya. ia teteap meminta pertolongan padaku dengan motif yang sama: ingin pulang ke Garut, mengumpulkan ongkos. begitu juga pada penumpang lainnya.
hatiku mulai bersangka-sangka. bukan karena uang yang harus kukeluarkan 5000 rupiah per hari untuk membantunya. namun, lebih pada pertanyaan:
"berapakah uang yang dibutuhkan sekali jalan untuk sampai ke Garut?" "20 ribu atau 30 ribu?" "kenapa nenek tua itu tidak segera meninggalkan bandung?"
asumsikan saja satu orang memberikan 5000 rupiah. 8 orang yang menyishkan uangnya saja sudah mendapat 40 ribu. lebih dari cukup kurasa. aku hentikan seketika perasaan itu dan melupaknnya. itu haknya, aku tidak berhak sama sekali menilai seseorang dari satu sudut pandang saja.
Tapi, sekarang, nenek itu tergeletak di depanku. darah berlumuran dimana-mana. yang aku herankan mengapa nenek itu bisa tertabrak di depan jalan kampusku. artinya tadi ia sedang berjalan di sekitaran kampus ini. apa yang sedang ia lakukan?.
semua orang memandangku karena terpaku melihat sosok tua terkapar. aku segera sadar.
"Ambulan, Ambulan! cepat telepon Ambulan!" aku berteriak pada kerumunan orang-orang.
"sudah dihubungi, sebentar lagi tiba!" salah satu suara dari kerumunan menjawab pertanyaanku. lalu, nenek itu menjulurkan tangannya padaku. aku segera meraihnya. matanya semakin sayup, tubuhnya semakin melemah akibat darah yang terlalu banyak keluar. dia tersenyum padaku sangat lama. "jadi ini ya kampus neng teh, bagus." aku tersontak kaget. ternyata ia mengingatku.
"Minggir, Ambulan sudah datang! beri jalan!"
nenek itu ditandu menuju ambulan. genggamannya tak mau ia lepaskan dariku. malah semakin aku hendak lepaskan semakin kencang ia menggenggam.
selang beberapa saat akhirnya ia melepaslkan tanganku. kerumunan tadi sudah berpencar setelah ambulan melaju. dan aku tetap berdiri disini memandangi ambulan yang menjauh dengan sirine-nya yang bising. pikiranku hanya bisa menerka-nerka.